Adab-adab membaca Al-Qur’an perlu diperhatikan oleh setiap muslimin/ah yang hendak membaca Al-Qur’an, karena ia merupakan kalamullah yang suci. Pada tulisan sebelumnya kami telah membahas tentang Keutamaan Mempelajari dan Mengajarkan Al-Qur’an, maka pada pembahasan kali ini kita akan melanjutkan pembahasan tentang adab membaca Al-Qur’an.
Al-Qur’an adalah kalamullah yang berbeda dengan kitab-kitab lain buatan manusia. Oleh karena itu membacanya pun harus mengikuti adab-adab membaca Al-Qur’an yang dianjurkan oleh Rasulullah shalallahu ‘alahi wasallam.
1. Mengikhlaskan Niat Hanya Untuk Allah
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
إِنَّا أَنزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ فَاعْبُدِ اللَّهَ مُخْلِصًا لَّهُ الدِّينَ (2) أَلَا لِلَّهِ الدِّينُ الْخَالِصُ ….. (3)
“Sesunguhnya Kami menurunkan kepadamu Kitab (Al Quran) dengan (membawa) kebenaran. Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya. Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik)…” (QS. Az-Zumar 39: 2-3)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu secara marfu’, (Nabi bersabda), Allah Ta’ala berfirman;
عن أبي هريرة -رضي الله عنه- مرفوعا: قال -تعالى-: ((أنا أغنى الشركاء عن الشرك؛ من عمل عملا أشرك معي فيه غيري تركتُه وشِرْكَه))
[صحيح.] – [رواه مسلم]
“Aku paling tidak butuh pada semua sekutu. Siapa beramal dengan mempersekutukan diri-Ku dalam amalnya, maka Aku tinggalkan dia bersama sekutunya.” (HR. Muslim no. 7475 dari Abu Hurairah)
Imam An-Nawawi rahimahullah pernah berkata:
“Hendaknya jangan berniat dengannya untuk mendapatkan dunia yang berupa harta benda, kepemimpinan, kewibawaan, keunggulan diantara kawan-kawan, pujian manusia, ataupun yang semisalnya.” (At-Tibyan fi Adabi Hamalatil Qur’an, hal. 29-30)
Ancaman untuk Bagi Qari’
Berbicara tentang ikhlas dalam membaca Al-Qur’an, ada beberapa hadits yang berisi ancaman terkhusus untuk para qari’ (pembaca Al-Qur’an) yang menjadikan bacaannya terbatas sebagai alunan yang ia gunakan untuk menarik sanjungan manusia juga untuk mencari kesenangan dunia semata.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
تعلموا القرآن، و سلوا الله به الجنة، قبل أن يتعلمه قوم، يسألون به الدنيا، فإن القرآن يتعلمه ثلاثة : رجل يباهي به، و رجل يستأكل به، ورجل يقرأه لله عز وجل
“Pelajarilah Al-Qur’an & mintalah kamu surga kepada Allah dengannya, sebelum (datangnya) suatu kaum yang mempelajarinya untuk memperoleh harta benda (dunia). Sesungguhnya Al-Qur’an itu akan dipelajari oleh tiga macam manusia, yaitu: orang yang akan berbangga diri dengannya, orang yang mencari makan dengannya & orang yang membacanya karena Allah.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda:
أَكْثَرُ مُنَافِقِي أُمَّتِي قُرَّاءُهَا
“Kebanyakan orang munafik di tengah-tengah umatku adalah para qari’-nya.” (As-Silsilah Ash-Shahiihah no. 750 dan dalam Shahiihul Jami’ no. 1203 dari Ibnu ‘Amr)
Inilah beberapa hadits seputar peringatan keras terhadap orang yang menjadikan Al-Qur’an sebagai wasilah untuk menggapai secuil kenikmatan dunia.
Diantara mereka tidak sedikit yang berbangga dengan pengetahuannya yang cukup dalam tentang ilmu qiro’ah lalu menganggap orang lain sebagai orang yang bodoh dan ia merasa lebih pandai dari orang lain, seolah ia ingin mengatakan: “Aku lebih bagus makhrajnya dari si fulan, si fulan bacaannya ancur berantakan bacaanku jauh lebih bagus” dan ungkapan-ungkapan semisal yang menunjukkan akan kesombongan diri (takabbur). Semoga Allah selamatkan kita semua dari sifat tercela ini.
2. Suci dari Hadats Besar dan Hadats Kecil
Adab-adab Membaca Al-Qur’an yang selanjutnya adalah hendaknya saat membaca Al-Qur’an kondisi kita dalam keadaan suci dari hadats, baik hadats kecil maupun hadats besar.
Dari Al-Muhajir bin Qunfudz, ia berkata: Bahwasanya dia mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang ketika itu sedang buang air kecil. Lalu dia mengucapkan salam kepada beliau, tetapi beliau tidak menjawabnya hingga beliau selesai berwudhu. Lantas beliau menjelaskan udzurnya seraya berkata:
أني كرهت أن أذكر الله إلا على طهر. أو قال: على طهارة
“Sesungguhnya aku tidak menyukai menyebut nama Allah (berdzikir kepada Allah) melainkan dalam keadaan suci” (HR. Abu Dawud (no. 750) dan dalam Shahih al-Jami’ (no. 1203) dari Ibnu Amr).
Perhatikanlah bagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak suka menyebut Allah subhanahu wa ta’ala dalam keadaan tidak suci. Kalau menyebut Allah saja beliau lebih suka dalam keadaan suci maka apalagi saat membaca Al-Qur’an yang secara keseluruhannya adalah kalamullah. Tetapi para ulama menjelaskan jika seseorang membaca Al-Qur’an dalam keadaan berhadats kecil hukumnya tetap diperbolehkan.
Imam An-Nawawi rahimahullah berkata:
“Jika seorang membaca dalam keadaan berhadats (kecil), maka hal itu diperbolehkan menurut ijma’ (kesepakatan) kaum muslimin. Hadits-hadits tentangnya banyak dan sudah masyhur. Imam Al-Haramain berkata: “Tidaklah dikatakan bahwa orang tersebut melakukan hal yang makruh, tetapi dia meninggalkan sesuatu yang lebih utama”. (At-Tibyan fi Adabi Hamalatil Qur’an, hal. 97)
3. Memilih Waktu dan Tempat yang Cocok
Membaca Al-Qur’an diperbolehkan kapan saja dan dimana saja, selama bukan di tempat-tempat yang terlarang. Namun ada waktu-waktu yang perlu kita perhatikan, karena diharapkan waktu-waktu tersebut dapat mendatangkan rahmat Allah.
Dalam kitab Al-Itqan fii ‘Uluumil Qur’an (1/292) karya Imam As-Suyuthi -rahimahullah- disebutkan bahwa waktu yang paling utama adalah:
- Ketika shalat (yaitu setelah membaca surat Al-Fatihah),
- Pada 1/3 malam terakhir,
- Pada malam hari,
- Sewaktu fajar,
- Ketika shubuh,
- Di waktu-waktu siang.
Demikian pula disukai membaca Al-Qur’an pada tempat-tempat yang bersih, jauh dari hal-hal yang dapat menggangu tilawah. Para ulama menyebutkan bahwa sebaik-baik tempat untuk membaca Al-Qur’an adalah di masjid, sebagaimana dikatakan oleh Imam An-Nawawi -rahimahullah-, tentunya dengan syarat tidak boleh mengeraskan suara sampai mengganggu orang yang sedang shalat sebagaimana akan datang penjelasannya pada adab-adab membaca Al-Qur’an yang kesebelas.
Alasan mengapa masjid adalah tempat terbaik untuk membaca Al-Qur’an adalah masjid merupakan tempat tempat yang bersih dan suci, juga tempat yang paling mulia diatas muka bumi ini.
Imam Al-Qurthubi rahimahullah juga pernah berkata:
“Jangan membaca di pasar-pasar, di tempat-tempat permainan dan tempat-tempat hiburan, juga di tempat perkumpulan orang-orang pandir. Tidakkah Anda perhatikan bahwa Allah menyebutkan sifat hamba-hamba-Nya (Ar-Rahman), serta memuji mereka seperti dalam firman-Nya : ‘dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaidah, mereka berlalu dengan menjaga kehormatan dirinya‘. Ini sekedar berlalu, lantas bagaimana apabila berlalu dengan membaca Al-Qur’anul Karim diantara orang-orang yang suka melakukan perbuatan yang sia-sia dan kumpulan orang-orang pandir?” (At-Tibyan Fii Afdhalil Adzkar, hal. 183-185)
Adapun membaca dijalan atau dikendaraan, hal itu diperbolehkan dan hukumnya tidaklah makruh berdasarkan hadits berikut:
Dari Abdullah bin Mughaffal radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: ” aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam pada hari penaklukan kota Makkah, dan saat itu beliau membaca surat Al-Fath diatas tunggangannya. (HR. Al-Bukhari no. 5034)
4. Menghadap Kiblat
Adab-adab membaca Al-Qur’an yang selanjutnya adalah dianjurkan bagi seorang qari’ (pembaca Al-Qur’an) untuk menghadap kiblat. Allah berfirman:
فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُ مَا كُنتُمْ فَوَلُّواْ وُجُوِهَكُمْ شَطْرَهُ
” Maka hadapkanlah wajahmu kearah Masjidil Haram. Dan dimana saja engkau berada, hadapkanlah wajahmu kearah itu” (QS. Al-Baqarah 2:144)
Berdasarkan ayat diatas para ulama bersepakat bahwa kiblat adalah arah yang paling utama. Sehingga orang-orang shalih tatkala bertaqarrub kepada Allah mereka berusaha untuk senantiasa menghadap kearah kiblat.
Imam An-Nawawi rahimahullah berkata: “Keadaan inilah (menghadap kiblat) yang paling sempurna. Seorang qari’ yang membaca Al-Qur’an dalam keadaan berdiri, bersandar, pada tempat tidur atau dalam keadaan yang lain memang dibolehkan serta mendapatkan pahala, tetapi kedudukannya dibawah yang pertama (menghadap kiblat). (At-Tibyan, hal. 104)
5. Membersihkan Mulut Dengan Siwak
Adab-adab Membaca Al-Qur’an berikutnya yaitu disunnahkan bagi orang yang membaca Al-Qur’an untuk bersiwak terlebih dahulu. Nabi shallallahu ‘alayhi wasallam bersabda:
السِّوَاكُ مَطْهَرَةٌ لِلْفَمِ، مَرْضَاةٌ لِلرَّبِّ
“Siwak itu pembersih mulut dan mendatangkan ridha Rabb.” (Shahih An-Nasa’i no.5 dari ‘Aisyah).
Dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam bersabda; “Sesungguhnya seorang hamba bila bersiwak lalu berdiri mengerjakan salat, maka berdirilah seorang malaikat dibelakangnya lalu mendengarkan bacaannya dengan saksama kemudian dia mendekatinya (atau dia mengucapkan kalimat seperti itu) hingga malaikat itu meletakkan mulutnya di atas mulut orang yang membaca al-Qur’an, maka tidaklah keluar dari mulutnya bacaan al-Qur’an itu melainkan langsung ke perut malaikat, oleh sebab itu bersihkanlah mulut-mulut kalian untuk membaca al-Qur’an.” (Shahih at-Tarhiib no. 215).
Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata: “Sesungguhnya mulut-mulut kalian adalah jalan bagi Al-Qur’an, maka sucikanlah dengan siwak.” (HR. Ibnu Majah no. 291)
Apakah Menyikat Gigi Dengan Pasta Gigi Hukumnya Sama Dengan Bersiwak?
Dalam Fatwa Nur ‘Ala Darb, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah pernah ditanya:
هل استعمال معجون الأسنان يغني عن السواك؟ وهل يثاب من استعمله بنية طهارة الفم؟ أي هل يعادل السواك في الأجر الذي رغب فيه الرسول صلى الله عليه وسلم لمن يستاك؟
Apakah menggunakan pasta gigi cukup untuk bersiwak? Dan apakah orang yang menyikat gigi dengan niat membersihkan mulut akan mendapatkan pahala? Maksudnya apakah ia (menyikat gigi) pahalanya sama dengan bersiwak yang mana orang yang bersiwak disukai oleh Rasul?
Beliau rahimahullah menjawab:
نعم، استعمال الفرشة والمعجون يغني عن السواك، بل وأشد منه تنظيفاً وتطهيراً، فإذا فعله الإنسان حصلت به السنة؛ لأنه ليس العبرة بالأداة، العبرة بالفعل والنتيجة، والفرشاة والمعجون يحصل بها نتيجة أكبر من السواك المجرد، لكن هل نقول: إنه ينبغي استعمال المعجون والفرشة كلما استحب استعمال السواك أو نقول: إن هذا من باب الإسراف والتعمق ولعله يؤثر على الفم برائحة أو جرح أو ما أشبه ذلك؟ هذا ينظر فيها
Iya, menggunakan sikat gigi dan pasta gigi cukup untuk bersiwak. Bahkan hasilnya lebih bersih dan suci daripada siwak. Jika seorang menggosok gigi dengan sikat gigi dan pasta gigi, maka dia telah melakukan amalan sunnah. Karena intinya bukan pada benda yang digunakan. Akan tetapi pada perbuatan dan hasilnya. Sikat gigi dan pasta gigi, lebih besar hasilnya daripada sekedar memakai siwak. Namun apakah kita katakan: Dianjurkan menyikat gigi dengan pasta gigi pada setiap kondisi disunnahkannya bersiwak? Maka kita jawab: Sesungguhnya hal tersebut merupakan tindakan pemborosan dan berlebihan, hal ini dapat berdampak pada aroma mulut bahkan dapat menyebabkan luka (iritasi) dan yang semisal dengan itu? Hal ini perlu diteliti kembali.
Silahkan cek fatwa beliau rahimahullah disini.
6. Membaca Ta’awwudz atau Isti’adzah
Adab yang keenam adalah membaca isti’adzah sebelum membaca Al-Qur’an, sebagai bentuk pengamalan dari firman Allah subhanahu wa ta’ala:
فَإِذَا قَرَأْتَ الْقُرْآنَ فَاسْتَعِذْ بِاللّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ
“Apabila kamu membaca Al Quran hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari syaitan yang terkutuk” (An-Nahl 16: 98)
7. Membaca Basmalah
Adab membaca Al-Qur’an yang ketujuh yaitu membaca basmalah; bismillaahirrahmaanirrahiim.
Dari Anas radhiyallahu ‘anhu berkata: “Pada suatu hari Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam berada ditengah-tengah kita lalu tiba-tiba beliau pingsan. Tidak lama kemudian beliau mengangkat kepala sambil tersenyum. Kami bertanya: ‘Apa yang membuat engkau tersenyum wahai Rasulullah?’ Beliau menjawab:
أُنزِلَتْ عليَّ آنفًا سورةُ بِسْمِ اللهُ الرَّحْمَنِ الرَّحِيِمِ . إِنَّا أعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ . فَصَلِّ لِرَبِّكَ وانْحَرْ . إِنَّ شَانِئَكَ هو الْأَبْتَرُ
“Tadi telah diturunkan kepadaku sebuah surah, ‘lantas beliau membaca: Bismillahirrahmanirrahim, ‘Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkorbanlah.Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu dialah yang terputus.‘ (Al-Kautsar 108:1-3)
Perhatikan para pembaca sekalian, dalam hadits diatas disebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam sebelum membaca ayat pertama di surat Al-Kautsar, beliau mengawalinya dengan mambaca basmalah terlebih dahulu. Dari sinilah para ulama menyimpulkan bahwa membaca basmalah merupakan salah satu adab-adab membaca Al-Qur’an yang dianjurkan untuk dilakukan oleh seorang qari’ (pembaca Al-Qur’an) sebelum memulai aktivitas tilawahnya.
8. Membaca Dengan Tartil
Adab-Adab yang selanjutnya adalah membaca Al-Qur’an dengan tartil. Yang dimaksud dengan tartil adalah tidak terlalu cepat atau terburu-buru dalam membaca Al-Qur’an. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
وَرَتِّلِ الْقُرْآنَ تَرْتِيلًا
“Dan bacalah Al Quran itu dengan perlahan-lahan“. (QS. Al-Muzammil 73: 4)
Imam At-Thabari rahimahullah menafsirkan ayat diatas: “Perjelaslah bacaan Al-Qur’an apabila kamu membacanya, dan perlahan-lahanlah dalam membacanya”. (Tafsir Ath-Thabari QS. Al-Muzzammil ayat 4)
Jika kita perhatikan kondisi di masyarakat, tidak sedikit kaum muslimin pada hari ini yang membaca Al-Qur’an dengan isti’jal (mau cepat-cepat selesai), ini merupakan perbuatan yang melanggar Adab-adab Membaca Al-Qur’an. Padahal kita dapati beberapa riwayat dari kaum salaf bahwa mereka membenci perbuatan isti’jal dalam membaca Al-Qur’an, yang demikian dikarenakan isti’jal dapat mengurangi kebaikan tujuan utama diturukannya Al-Qur’an yaitu untuk dihayati dan ditadabburi maknanya.
Kisah Keharusan Membaca Al-Qur’an dengan Tartil
Suatu ketika ada seseorang yang mendatangi sahabat ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu lalu berkata; “Aku membaca mufashshal dalam satu rakaat.” (ket: Mufashshal adalah surat-surat pendek yang dimulai dari surat Qaaf sampai surat An-Naas). Maka Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata:
“Apakah kamu membaca surat-surat itu dengan cepat seperti membaca sya’ir? Sesungguhnya ada suatu kaum yang membaca Al-Qur’an namun tidak melewati kerongkongan mereka (tidak sampai masuk kedalam hati). Padahal jika Al-Qur’an sampai kedalam hati dan menghunjam kuat disana, pastilah ia akan memberikan manfaat.” (HR. Muslim no. 822)
Imam Mujahid rahimahullah juga pernah ditanya tentang dua orang; yang satu membaca surat Al-Baqarah, sedangkan yang satu lagi membaca surat Al-Baqarah dan Aali ‘Imran. Ruku, sujud serta duduk kedua orang tersebut sama. Siapa diantara keduanya yang lebih utama? Kemudian beliau rahimahullah menjawab: “Yang lebih utama adalah orang yang membaca surat Al-Baqarah”. Kemudian beliau membacakan ayat:
وَقُرْآنًا فَرَقْنَاهُ لِتَقْرَأَهُ عَلَى النَّاسِ عَلَىٰ مُكْثٍ وَنَزَّلْنَاهُ تَنزِيلًا
“Dan Al-Qur’an (Kami turunkan) berangsur-angsur agar engkau (Muhammad) membacakannya kepada manusia perlahan-lahan dan Kami menurunkannya secara bertahap” (QS. Al-Isra 17: 106).
Kisah diatas dinukil dari kitab Akhlaq Hamalatil Qur’an hal. 90.
Baca Juga: Tingkatan Bacaan Al-Qur’an yang Wajib Diketahui
9. Memperindah Suara dan Bacaan Al-Qur’an
Disunnahkan ketika membaca Al-Qur’an untuk memperindah suara dan berirama saat membacanya. Ini juga merupakan salah satu adab dalam membaca Al-Qur’an yang disebutkan oleh para ulama.
Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda:
زَيِّنُوا الْقُرْآنَ بِأَصْوَاتِكُمْ
Hiasilah al-Quran dengan suara kalian. (HR. Ahmad 18994, Nasai 1024, dan dishahihkan Syu’aib al-Arnauth)
Dalam haditsnya yang lain Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam juga bersabda:
لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يَتَغَنَّ بِالْقُرْآنِ
“Siapa yang tidak memperindah suaranya ketika membaca al-Quran, maka ia bukan dari golongan kami.” (HR. Abu Daud 1469, Ahmad 1512 dan dishahihkan Syu’aib al-Arnauth).
Kenapa Membaca Al-Qur’an Harus Diperindah?
Para ulama salaf amatlah perhatian mengenai permasalahan ini. Sebab, suara yang merdu atau indah dalam tilawah Al-Qur’an mampu memberikan pengaruh yang sangat besar untuk jiwa, bahkan bisa menambah kekhusyukan, dan mampu mendorong seseorang untuk jauh lebih mentadabburi isi Al-Qur’an.
Al-Bara’ bin Azib radhiyallahu ‘anhu pernah berkata: ” Aku pernah mendengar Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam membaca surah at-Tiin pada shalat ‘Isya, dan aku tidak pernah mendengar seorangpun yang lebih indah suara atau bacaannya selain beliau.” (HR. Al-Bukhari)
Al-A’masy rahimahullah pernah menuturkan tentang Yahya bin Watstsab (wafat 103 H): Yahya bin Watstsab orang yang paling indah qiraat (bacaan) nya, terkadang sampai-sampai aku ingin mencium kepalanya karena keindahan itu. Apabila dia membacakan Al-Qur’an maka tidak terdengar satu gerakan pun didalam masjid, seakan-akan tidak ada seorangpun yang ada di masjid tersebut.” (Wa Rattilil Qur’ana Tartila hal. 33, dinukil dari Nuzhatul Fudhala 1/402).
Imam An-Nawawi rahimahullah pernah berkata: “Kaum salaf dan khalaf dari kalangan Sahabat, Tabi’in dan para ulama setelah meraka dari berbagai negeri yang termasuk para imam kaum muslimin telah sepakat atas disunnahkannya memperindah suara dalam membaca Al-Qur’an.” (At-Tibyan hal. 144).
Dianjurkan untuk membaguskan suara ketika membaca Al-Qur’an selama tidak keluar dari kaidah qiraah yang benar. Seperti berlebih-lebihan saat melagukannya sehingga menambah satu huruf, atau menguranginya, maka hal itu haram dilakukan.
Melagukan Bacaan Al-Qur’an Yang Terpuji dan Yang Tercela
Melagukan Al-Qur’an ada dua macam;
1. Lagu yang Sesuai dengan Tabiat Manusia
Yaitu lagu yang natural tanpa dibuat-buat, dipelajari, ataupun dilatih. Jika seseorang dibiarkan bersama tabi’atnya, dibiarkan lepas dan bebas maka ia akan dapat melagukannya dengan sendirinya. Hal yang seperi ini diperbolehkan meskipun orang tersebut mengusahakan agar tabiat dan karakternya tersebut lebih indah dan lebih bagus.
Hal inilah yang dimaksud oleh sahabat Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu tatkala becaannya disimak oleh Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam tanpa sepengetahuannya: “Jikalau aku tahu engkau mendengarkan bacaannku niscaya akan kuperindah bacaanku dengan sebaik-baiknya”.
Demikianlah yang dilakukan oleh para Salafuna ash-Shaalih, yaitu melagukan al-Qur’an dengan lagu yang terpuji, yaitu lagu yang membawa kebaikan untuk pembaca dan pendengarnya. Kepada pemahaman inilah dalil-dalil tentang melagukan Al-Qur’an diarahkan.
2. Lagu yang Diperoleh dari Hasil Usaha Manusia
Lagu yang seperti ini seringkali tidak sejalan dengan karakter dan tabi’at si pembaca Al-Qur’an, bahkan tidak jarang ia memaksakan dirinya agar bisa melagukan Al-Qur’an dengan irama tersebut, ia melatih dirinya agar bisa mirip dengan irama tersebut.
Dan irama-irama tersebut tidak akan bisa dipraktekkan kecuali setelah melalui proses melatih diri dan mempelajari vokal (cengkok-cengkok) yang diciptakan mulai dari yang mudah hingga yang sulit.
Inilah jenis melagukan Al-Qur’an yang dibenci oleh para ulama salaf; mereka mencelanya dan melarang membaca Al-Qur’an dengan cara demikian, bahkan mereka mengingkari orang-orang yang berbuat demikian.
Pembahasan lengkap tentang hal ini dapat pembaca simak di kitab Zaadul Maa’ad-nya Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah.
10. Tadabur, Khusyu dan Menangis
Adab membaca Al-Qur’an yang selanjutnya adalah membacanya dengan diiringi penghayatan (tadabbur), khusyu’ dan menangis.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman tentang Al-Qur’an:
كِتَابٌ أَنزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِّيَدَّبَّرُوا آيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُوْلُوا الْأَلْبَابِ
“Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran” (QS. Shad 38: 29)
Allah berfirman kepada anak Adam:
أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ أَمْ عَلَى قُلُوبٍ أَقْفَالُهَا
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran ataukah hati mereka terkunci?” (QS. Muhammad 47:24)
Allah berfirman tentang sifat hamba-hambaNya yang shalih:
وَيَخِرُّونَ لِلأَذْقَانِ يَبْكُونَ وَيَزِيدُهُمْ خُشُوعًا
“Dan mereka menyungkur atas muka mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusyu’.” (QS. Al-Isra 17: 109)
Mari kita perhatikan bagaimana tadabur, kekhusyuan, serta tangisan Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam dan kaum salaf ketika membaca Al-Qur’anul Karim.
Abdullah bin as-Syikhir berkata: “Aku mendatangi Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam sewaktu beliau shalat, dan (terdengar) dari rongga dada beliau suara isak tangis seperti air yang mendidih didalam bejana.” (HR. An-Nasai no. 1156)
Abdullah bin Saddad berkata: “Aku mendengar isak tangis Umar, dan aku berada diakhir shaf ketika dia membaca ayat:
إِنَّمَا أَشْكُو بَثِّي وَحُزْنِي إِلَى اللّهِ
“Sesungguhnya hanyalah kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku” (QS.Yusuf 12: 86)
Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda:
إِنَّ مِنْ أَحْسَنِ النَّاسِ صَوْتًا بِالقُرْآنِ، الَّذِي إِذَا سَمِعْتُمُوْهُ يَقْرَأُ، حَسِبْتُمُوهُ يَخْشَى اللّه
“Sesungguhnya manusia yang paling bagus suaranya dalam membaca Al-Qur’an adalah orang yang jika kalian mendengar ia membaca, kalian menyangkanya dia takut kepada Allah” (HR. Ibnu Majah no. 1339)
11. Mengeraskan Bacaan (Tidak Mengganggu Orang Lain)
Diantara Adab-adab Membaca Al-Qur’an yang dijelaskan oleh para ulama adalah mengeraskan bacaannya asalkan tidak mengganggu orang lain, terutama orang yang sedang shalat.
Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda:
مَا أَذِنَ اللَّه لِشَيءٍ مَا أَذِنَ لِنَبِيٍّ حَسَّنَ اْلصَّوْتَ بِالْقُرْآنِ يَجْهَرُ بِهِ
” Tidakkah Allah mengizinkan sesuatu (seperti halnya) mengizinkan Nabi yang bersuara indah dalam membaca Al-Qur’an dengan dijaharkan” (HR. Al-Bukhari no. 7544 dan Abu Hurairah)
Dalam riwayat yang lain beliau bersabda:
الجَاهِرُ بِالقُرْآنِ كَالْجَاهِرُ بِالصَّدَقَةِ، وَاْلمُسِرُّ بِالقُرْآنِ كَالْمُسِرِّ بِالصَّدَقَةِ
“Orang yang menjaharkan (dengan suara keras) bacana Al-Qur’an seperti orang bersedekah terang-terangan, dan orang yang mensir bacaan Al-Qur’an (dengan suara lirih) seperti orang bersedekah dengan sembunyi-sembunyi” (HR. Abu Dawud no. 1333 dari Uqbah bin Amir al-Juhani)
Pembaca yang budiman, jika melihat sepintas dua hadits diatas, seolah keduanya terlihat seperti bertentangan; hadits yang pertama anjuran untuk membaca Al-Qur’an dengan jahr (dengan suara keras), dan hadits yang kedua anjuran membaca Al-Qur’an dengan sir (dengan suara lirih).
Ketahuilah, bahwa para ulama telah berusaha untuk mengkompromikan dua hadits ini dengan cara menggabungkan matan keduanya, lalu mereka memberi penjelasan sebagai berikut:
Jahr (mengeraskan bacaan)
lebih utama dengan syarat tidak mengganggu orang lain; seperti orang yang sedang sholat, sedang tidur atau sedang beraktivitas lainnya. Hal ini karena men-jahr sendiri memiliki beberapa faidah; diantaranya bisa membangkitkan hati, lebih mudah untuk berkonsentrasi, dan mampu mengusir rasa kantuk sehingga bisa menambah semangat ketika membaca Al-Qur’an.
Sirr (melirihkan bacaan)
lebih utama apabila dikhawatirkan men-jahr kemudian muncul sifat riya, mengganggu orang yang sedang sholat, atau mengusik orang yang sedang tidur.
Adapun dalil yang digunakan para ulama untuk menjamak kedua hadits diatas tersebut adalah riwayat Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, bahwa dia berkata:
اعتكف رسول الله صلى الله عليه وسلم فسمعهم يجهرون بالقراءة، فكشف الستر وقال: ألا إن كلكم مناج ربه، فلا يؤذين بعضكم بعضا، ولا يرفع بعضكم على بعض في القراءة، أو قال: في الصلاة
“Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam beriktikaf di masjid, lalu beliau mendengar mereka mengeraskan bacaan Al-Qur’an, kemudian beliau membuka tirai seraya berkata: ‘Sesungguhnya setiap kalian sedang bermunajat kepada Rabbnya, maka janganlah sebagian kalian mengganggu sebagain yang lain, dan janganlah sebagai kalian mengangkat suara dalam qira’ah lebih dari yang lainnya.’ Dalam lafazh yang lainnya: ‘dalam shalatnya.’ (HR. Abu Dawud no. 1332)
Membaca Al-Qur’an Menggunakan Pengeras Suara
Para pembaca yang budiman, ketahuilah bahwa Allah menurunkan Al-Qur’an untuk dibaca dan ditadabburi (direnungi) isinya, diambil pelajaran darinya dan diamalkan isinya. Kerananya, jangan sampai bacaan kita mengganngu orang lain, hingga mereka menjadi benci dan lari dari Al-Qur’an hanya karena kita jahil/bodoh terhadap adab yang satu ini.
Dalam kitab Talbis Iblis, Imam Ibnul Jauzi rahimahullah menyebutkan:
“Iblis telah memperdaya suatu kaum dari kalangan para qari’, sehingga mereka membaca Al-Qur’an di menara masjid pada malam hari dengan suara yang bersamaan lagi keras sebanyak satu atau dua juz. Dengan seperti itu sejatinya mereka sedang mengumpukan dua kesalahan; yaitu mengganggu manusia dari tidurnya dan mengantarkan dirinya pada perbuatan riya” (Talbis Iblis hal. 143)
12. Mewaqafkan Bacaan Pada Akhir Ayat
Adab-adab Membaca Al-Qur’an yang berikutnya adalah waqaf (berhenti) pada setiap akhir ayat yang dibaca, tidak disambung dengan ayat selanjutnya sebagaimana yang telah di contohkan oleh Nabi shalallahu ‘alayhi wa sallam.
Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha berkata: Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam memutus-mutus qiraahnya (membaca waqaf pada setiap akhir ayat). Beliau membaca:
الْحَمْدُ للّهِ رَبِّ الْعَالَمِين
Dan berhenti, lalu membaca:
الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
Dan berhenti, lalu membaca:
مَلِكِ يَوْمِ الدِّينِ
(HR. At-Tirmidzi no. 2927)
Dalam riwayat lain disebutkan: “Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam membaca Al-Qur’an seayat demi seayat”. (HR. Abu Dawud no. 4001)
Syaikh ‘Abdul Karim Silmi Al-Jazaairy hafizhahullah berkata: “Cukuplah perbuatan seorang qari yang selalu menyambung satu ayat dengan ayat setelahnya (tanpa waqof) menunjukkan bahwa ia bukanlah seorang yang faqiih”, ucapan beliau ini kami dengar langsung saat beliau mengisi Dauroh Al-Qur’an di kota Bandung yang diselenggarakan oleh Markaz Ibnul Jazary.
13. Tidak Membaca Al-Quran Dalam Kondisi Mengantuk
Adab membaca Al-Qur’an yang ketiga belas adalah tidak membaca Al-Qur’an saat kondisi sedang lelah sekali atau mengantuk, hal ini didasari oleh sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim (no. 787) dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam pernah bersabda:
إِذَا قَامَ أَحَدُكُمْ مِنَ اللَّيلِ، فَاسْتَعْجَمَ الْقُرْآنَ عَلَى لِسَانِهِ، فَلَمْ يَدْرِ مَا يَقُوْلُ، فَلْيَضْطَجِغْ
“Apabila salah seorang diantara kalian bangun (shalat malam), kemudian tidak jelas bacaan Al-Qur’an dari mulutnya, sehingga dia tidak mengetahui apa yang diucapkannya, maka hendaknya dia tidur.” (HR. Muslim no. 787)
Kenapa perbuatan tersebut dilarang? Alasannya dijelaskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam dalam haditsnya yang lain:
إِذَا نَعَسَ أَحَدُكُمْ وَهُوَ يُصَلِّي فَلْيَرْقُدْ حَتَّى يَذْهَبَ عَنْهُ النَّوْمُ؛ فَإِنَّ أَحَدَكُمْ إِذَا صَلَّى وَهُوَ نَاعِسٌ لَا يَدْرِي لَعَلَّهُ يَسْتَغْفِرُ فَيَسُبُّ نَفْسَهُ
“Apabila salah seorang diantara kalian mengantuk dalam shalat, maka tidurlah sampai hilang rasa kantuknya. Sesungguhnya salah seorang diantara kalian apabila shalat dalam keadaan mengantuk maka bisa jadi dia ingin meminta ampun, tetapi malah memaki dirinya sendiri” (HR. Muslim no. 768)
Hal ini juga berlaku saat membaca Al-Qur’an diluar shalat, alasannya sama, yaitu dikhawatirkan ia terjatuh dalam kesalahan dalam membaca Al-Qur’an yang menyebabkan mengubah makna bacaan.
14. Sujud Tilawah Ketika Sampai Pada Ayat Sajdah
Dalam Al-Qur’an terdapat beberapa ayat yang dikenal dengan sebutan ayat sajdah, yaitu ayat yang berisi anjuran untuk sujud. Ayat-ayat ini pada mushaf Al-Qur’an biasanya ditandai dengan simbol kubah.
Dalam sebuah haditsnya Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda:
إذا قَرَأَ ابنُ آدَمَ السَّجْدَةَ فَسَجَدَ اعْتَزَلَ الشَّيْطانُ يَبْكِي، يقولُ: يا ويْلَهُ، وفي رِوايَةِ أبِي كُرَيْبٍ: يا ويْلِي، أُمِرَ ابنُ آدَمَ بالسُّجُودِ فَسَجَدَ فَلَهُ الجَنَّةُ، وأُمِرْتُ بالسُّجُودِ فأبَيْتُ فَلِيَ النَّارُ. وفي رواية: فَعَصَيْتُ فَلِيَ النَّارُ
“Apabila anak Adam membaca ayat sajdah lalu ia sujud maka syaithan menyingkir sembil menangis seraya berkata: ‘Celakalah dia’ –dalam riwayat Abu Kuraib (syaithan berkata): ‘Celakalah aku.’- Anak Adam diperintah untuk sujud lalu dia sujud maka baginya Surga, sedangkan aku diperintah untuk sujud tapi aku enggan maka bagiku Neraka.” dalam riwayat yang lain disebutkan: “akan tetapi aku bermaksiat,maka bagiku Neraka.” (HR. Muslim no. 787)
Apa Yang Dibaca Saat Sujud Tilawah?
Diantara bacaan yang dibaca saat sujud tilawah adalah:
سَجَدَ وَجْهِى لِلَّذِى خَلَقَهُ وَصَوَّرَهُ وَشَقَّ سَمْعَهُ وَبَصَرَهُ بِحَوْلِهِ وَقُوَّتِهِ
“Wajahku bersujud kepada Allah yang menciptakannya dan membuka (memberikan) pendengaran dan penglihatannya, dengan daya upaya dan kekuatan-Nya” (HR. Abu Dawud no. 1414)
Demikian empat belas Adab-adab Membaca Al-Qur’an yang dapat kami sebutkan pada tulisan kali ini, semoga dapat menjadi pencerahan untuk kami dan para pembaca sekalian. Kita memohon kepada Allah ‘azza wa jalla agar menjadikan Al-Qur’an sebagai cahaya dalam hati kita yang membimbing kita menuju surgaNya. Amiiin
Selesai ditulis di hari Rabu Sore, 19 Mei 2021, 15.37 WIB
Perum Graha Prima, Tambun
Akhukum Al-Faqiir
Heri Suheri