Tajwid menurut Ibnul Jazari telah dijelaskan oleh beliau sendiri di salah satu kitab tulisan beliau yang fenomenal, yaitu Manzhumah Jazariyyah. Siapa saja yang pernah mempelajari matan tajwid pastilah kenal dengan seorang ‘alim yang bernama Ibnul Jazari. Ya, beliau adalah salah seorang imam dalam ilmu tajwid dan qiro’ah. Bahkan rasanya tak berlebihan jika seandainyapun ada yang menjuluki beliau dengan julukan ‘Bapak’ Ilmu Tajwid. 

Lantas apakah yang dimaksud dengan tajwid menurut beliau rahimahullah? Untuk menjawab pertanyaan diataslah tulisan ini kami susun. Semoga bermanfaat.

Siapa Ibnul Jazari?

Seringkali suatu ucapan ditolak mentah-mentah hanya karena orang yang mendengarnya tidak memiliki cukup pengetahuan tentang sosok yang mengucapkannya. Karenanya muncul satu pepatah; “tak kenal maka tak sayang.”

Oleh karena itu, sebelum membahas tentang tajwid menurut Ibnul Jazari, alangkah baiknya kita mengenal terlebih dahulu siapa beliau, agar kita lebih siap untuk ‘mengosongkan gelas’.

Nama asli beliau adalah Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin ‘Ali bin Yusuf Ad-Dimasyqi, namun lebih dikenal dengan nama Ibnul Jazari, nisbah kepada pulau kecil (jazirah) di perbatasan Suriah dan Turki, yaitu Jazirah Ibnu ‘Umar.

Dilahirkan pada tanggal 25 Ramadhan 751 H di kota Damaskus, Suriah dan telah hafal Al-Qur’an sejak usia 13 tahun, lalu mengimami manusia di umur 14 tahun. Beliau mempelajari Al-Qur’an dan Qira’ah Sab’ah di Damaskus lalu melanjutkan perjalanan menuntut ilmunya dengan melakukan rihlah ke daerah Hijaz dan Mesir untuk bertalaqqi kepada para raksasa ilmu di zamannya, salah satu guru beliau adalah Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah yang telah memberikan beliau ijazah ifta’ (rekomendasi untuk berfatwa) pada tahun 774 H.

Kemudian beliau melanjutkan rihlahnya, namun kali ini dalam rangka mengajar. Beliau mengunjungi banyak kota untuk mengajar mulai dari Samakand, Khurasan, Asfahan, Syiraz, Irak, Bashrah, Unaizah, Mekkah dan Yaman, lalu kembali ke Damaskus kemudian wafat disana pada tahun 833 H.

Tajwid Menurut Ibnul Jazari

Dalam ilmu tajwid beliau merupakan salah satu ulama yang dijadikan rujukan oleh kaum muslimin hingga hari ini. Karena kedalaman ilmu beliau bak samudera yang sangat luas dalam ilmu ini maka warisan beliau berupa kitab-kitab tulisan beliau dipelajari dan diajarkan dari masa kemasa, diantaranya adalah kitab beliau; Manzhumah Al-Jazariyyah.

Dalam kitab Manzhumah Jazariyyah terdapat satu bab khusus yang beliau beri nama Bab Tajwid. Maka tulisan ini sejatinya adalah merupakan penjelasan dari bait-bait sya’ir yang beliau susun pada bab tersebut.

Berikut adalah Tajwid Menurut Ibnul Jazari:

باب التجويد

 وَالأَخْـذُ بِالتَّـجْـوِيـدِ حَـتْــمٌ لازِمُ *** مَــنْ لَــمْ يُـجَـوِّدِ الْـقُـرَانَ آثِــمُ
 لأَنَّــهُ بِـــهِ الإِلَـــهُ أَنْـــزَلاَ *** وَهَـكَـذَا مِـنْـهُ إِلَـيْـنَـا وَصَـــلاَ
 وَهُـوَ أَيْـضًـا حِـلْيَـةُ الـتِّـلاَوَةِ *** وَزِيْــنَـــةُ الأَدَاءِ وَالْــقِـــرَاءَةِ
 وَهْـوَ إِعْـطَـاءُ الْـحُـرُوفِ حَقَّـهَـا *** مِــنْ صِـفَـةٍ لَـهَـا وَمُستَحَـقَّـهَـا
 وَرَدُّ كُـــلِّ وَاحِـــدٍ لأَصْـلِــهِ *** وَاللَّـفْـظُ فِــي نَـظِـيْـرِهِ كَمِـثْـلـهِ
 مُكَمَّـلاً مِـنْ غَـيْـرِ مَــا تَكَـلُّـفِ *** بِاللُّطْـفِ فِـي النُّطْـقِ بِــلاَ تَعَـسُّـفِ
 وَلَـيْـسَ بَـيْـنَـهُ وَبَـيْـنَ تَـرْكِـهِ *** إِلاَّ رِيَـاضَــةُ امْـــرِئٍ بِـفَـكِّــهِ

Dan mengamalkan tajwid hukumnya wajib secara mutlak bagi seluruh muslim mukallaf. Siapa saja orang yang sengaja tidak mengamalkan tajwid saat membaca Al-Quran, maka ia berdosa.

Hukum Mengamalkan Tajwid

Al-Imam Ibnul Jazariy rahimahullah berkata dalam Manzhumah Jazariyyah:

وَٱلأَخْذُ بِالتَّجْوِيدِ حَتمٌ لَازِمُ *** مَنْ لَمْ يُجَوِّدِ ٱلْقُرَانَ آثِمُ

“Dan mengamalkan tajwid hukumnya wajib secara mutlak bagi seluruh muslim mukallaf. Siapa saja orang yang sengaja tidak mengamalkan tajwid saat membaca Al-Quran, maka ia berdosa.”

Melalui bait ini Imam Ibnul Jazari rahimahullah ingin menegaskan dalam syairnya bahwa mengamalkan tajwid saat membaca Al-Qur’an merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh setiap muslim. Namun, dalam permasalahan ini terdapat perincian, khususnya berkaitan dengan mencapai kesempurnaan bacaan dan tajwid.

Hal ini diperkuat oleh riwayat yang datang dari Ummul Mu’minin ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwa Rasulullaah shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda :

الَّذِي يَقْرَأُ القُرْآنَ وَهُوَ مَاهِرٌ بِهِ مَعَ السَّفَرَةِ الكِرَامِ البَرَرَةِ، وَالَّذِي يَقْرَأُ الْقُرْآنَ وَيَتَتَعْتَعُ فِيهِ وَهُوَ عَلَيْهِ شَاقٌّ لَهُ أجْرَانِ

“Seorang yang mahir membaca Al-Quran akan bersama para Malaikat yang mulia dan senantiasa selalu taat kepada Allah. Adapun yang membaca Al-Qur’an dengan terbata-bata dan masih terasa sulit atasnya bacaan tersebut, maka baginya dua pahala.” [HR. Muslim]

Beberapa pelajaran penting yang bisa kita petik dari riwayat tersebut diantaranya: 

  1. Keutamaan di sisi Allah subhanahu wa ta’ala dan pahala yang sangat besar bagi orang-orang yang mahir membaca Al-Qur’an. Merekalah yang dinamakan dengan muhsin ma’jur.
  2. Keutamaan dan dua pahala bagi mereka yang membaca Al-Quran dengan terbata-bata namun tidak berhenti belajar, mereka adalah musii’ ma’dzur (orang yang tersalah dan dimaafkan)
  3. Analogi terbalik dari riwayat diatas adalah orang yang tidak mahir membaca Al-Qur’an dan tidak mau belajar untuk memperbaikinya maka bagi mereka adalah keburukan, merekalah yang dinamakan dengan musii’ aatsim (orang yang salah dan berdosa).

Meskipun demikian, diperbolehkan bagi seseorang untuk membaca Al-Qur’an dengan kualitas yang berbeda-beda sesuai dengan kondisi dan keadaannya. Misalnya saat ia membaca Al-Qur’an sendirian, ia membacanya dengan kualitas yang biasa-biasa saja, namun ketika ia bertalaqqi di hadapan guru ia membacanya dengan sangat hati-hati dan berusaha untuk memperdengarkan bacaan terbaiknya. Hal ini diperbolehkan dan tidaklah termasuk perbuatan dosa

Dalil yang menunjukkan hal ini adalah riwayat tentang bacaan Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu saat Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam mendengarkan bacaan Abu Musa pada suatu malam tanpa sepengetahuannya, lalu keesokan harinya beliau shallallahu ‘alayhi wa sallam mengabarkan kepada Abu Musa tentang apa yang beliau dengar di malam tadi:

لَقَدْ أُوتِى هَذَا مِزْمَارًا مِنْ مَزَامِيْرِ آلِ دَاوُدَ

“Sungguh ia telah diberi keindahan suara sebagaimana keindahan suara keturunan Nabi Daud.”

Ketika Abu Musa mendengar hal itu dan saat itu ia tidak menyadari bahwa Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam menyimak bacaannya tadi malam, iapun berkata:

لَوْ كُنْتُ أَعْلَمُ أََنَّكَ كُنْتَ تَسْمَعُ  قِرَاءَتِى لَحَبَّرْتُهُ لَكَ تَحْبِيْرًا

“Andai aku tahu engkau sedang mendengarkannya, tentu aku akan benar-benar lebih memperindah bacaannya.” [HR. Al-Bukhari 5048, Muslim 793]

Hadits diatas memeberikan faidah kepada kita bahwa bacaan sahabat Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu ketika sendirian bukanlah bacaan terbaiknya, dan beliau radhiyallahu ‘anhu masih bisa membaca dengan bacaan yang lebih baik dari itu, namun tak beliau lakukan. Ini menunjukkan bahwa dibolehkan bagi seseorang membaca Al-Qur’an dengan kualitas dibawah kualitas bacaan yang biasa diperdengarkan saat ia talaqqi kepada guru, tentunya dengan syarat bacaannya tidak melanggar aturan dalam ilmu tajwid dan tidak terdapat lahn.

Adapun jika dalam konteks talaqqi dihadapan guru maka kita harus berusaha memperdengarkan bacaan Al-Qur’an kita dengan kualitas terbaiknya, kita kerahkan seluruh kemampuan kita untuk melafalkan huruf-hurufnya sesuai dengan menunaikan hak dan mustahaknya baik dari sisi makhraj dan shifatnya serta hukum-hukum tajwidnya.

Maka dari sini dapat kita simpulkan bahwa membaca Al-Qur’an dengan kualitas dibawah sempurna selama tidak melanggar kaidah-kaidah dalam ilmu tajwid tidaklah berdosa dan tidak termasuk kedalam golongan orang yang disebutkan oleh Imam Ibnul Jazari dalam bait sya’irnya:

مَنْ لَمْ يُجَوِّدِ ٱلْقُرَانَ آثِمُ

“Siapa saja orang yang sengaja tidak mengamalkan tajwid saat membaca Al-Quran, maka ia berdosa.”

Allah Menurunkan Al-Qur’an Dengan Tajwid

Kemudian pada bait selanjutnya Imam Ibnul Jazariy rahimahullah menyebutkan alasan mengapa membaca Al-Qur’an wajib dengan tajwid;

لِاًنَّهُ بِهِ الاِلَهُ أَنْزَلاَ *** وَهَكَذَا مِنْهُ إِلَيْنَا وصَلاَ

“Karena bersama dengan tajwid Allah menurunkan Al-Qur’an dan cara membacanya, dan bersama dengan tajwid pula Al-Qur’an dan cara membacanya Al- Qur’an dari-Nya sampai kepada kita.”

Perhatikan bagian akhir dari dua potongan bait diatas. Imam Ibnul Jazariy rahimahullah menambahkan Alif Tatsniyah (Alif yang menunjukan kepada makna dualis) yaitu pada kata أنزلا (anzalaa) dan pada kata وصلا (washalaa). Sebagaimana yang difahami dalam bahasa Arab; jika ada fi’il (kata kerja) yang ditambah dengan alif tatsniyah maka subjeknya bermakna ganda. Sehingga sebagian ulama yang menjelaskan bait diatas menyebutkan bahwa bersama tajwid Allah menurunkan dua hal yang keduanya telah sampai kepada kita, yaitu:

  1. Al-Qur’an dalam arti teks-nya
  2. Al-Qur’an dalam arti cara membacanya

Berdasarkan dari pemahaman ini maka disimpulkan bahwa Allah menjaga Al-Qur’an dari dua sisi; penjagaan dari sisi teksnya dan penjagaan dari sisi cara membacanya. Keduanya tidak akan mengalami perubahan hingga hari kiamat tiba, karena akan senantiasa ada orang-orang yang Allah pilih mereka untuk mempelajari dan mengajarkan dua hal tersebut.

Al-Quran diturunkan dengan Bahasa Arab yang jelas lagi terang. Sedangkan kaidah-kaidah ilmu tajwid hakikatnya adalah kaidah-kaidah bahasa Arab itu sendiri. Bila kita tidak menjaga kaidah tajwid, maka sama artinya kita tidak menjaga kaidah Bahasa Arab yang dengannya Al-Quran diturunkan.

Kaidah Tajwid Menurut Syaikh Ayman Rusydi Suwaid hafizhahullah

Syaikh Ayman Rusydi Suwaid hafizhahullah mengatakan bahwa seluruh kaidah tajwid adalah thabi’i (berasal kaidah bahasa Arab), kecuali empat hal saja, diantaranya:

1. Kadar panjang mad yang lebih dari dua harakat

Mad asli yang panjangnya dua harakat merupakan thabi’i, bawaan orang Arab yang merupakan bagian dari kaidah Bahasa Arab. Sedangkan mad yang lebih dari dua harakat tidak dikenal dalam Bahasa Arab dan hanya ada dalam Al-Qur’an.

2. Panjangnya ghunnah

Yaitu panjangnya bacaan saat menahan ghunnah. Sebagaimana diketahui bersama bahwa ketika seorang qari’ membaca bacaan ghunnah, maka ia akan menahan bacaannya sejenak (sekadar lebih dari dua harakat). Proses menahan pada bacaan ghunnah inilah yang bukan bagian dari thabi’i atau bawaan orang Arab ketika berbicara.

Catatan: Perlu dibedakan antara menahan bacaan ghunnah dengan ghunnah itu sendiri. Ghunnah itu sendiri merupakan bagian dari tabiat asli orang-orang Arab. Saat melafalkan huruf nun dan mim bertasydid misalnya, mereka membacanya dengan ghunnah dalam percakapan mereka. Yang bukan tabi’at mereka adalah memanjangkan bacaan ghunnah tersebut sebagaimana kita memanjangkannya saat membaca Al-Qur’an.

3. Saktah

Saktah artinya berhenti sejenak tanpa mengambil nafas, lalu melanjutkan bacaan kembali. Berbeda dengan waqaf, yang berhenti untuk mengambil nafas atau menyudahi bacaan. Saktah dalam percakapan Bahasa Arab tidak berlaku. Saktah hanya berlaku pada saat membaca Al- Qur’an. Oleh karena itu, saktah bukanlah merubakan tabiat asli orang-orang Arab.

4. Tahsin Tilawah

Demikin juga dalam tahsinut tilawah atau yang biasa kita kenal dengan istilah nada/senandung bacaan ketika membaca Al-Qur’an. Ini juga bukan merupakan thabi’i.

Misalnya ketika orang-orang Arab bertanya; “Siapa yang melakukan ini?”, mereka akan mengatakan dalam bahasa mereka:

“مَنْ يَفْعَلُ هَذَا؟”

Namun tentunya mereka mengucapkan kalimat tersebut tidak menggunakan nada atau senandung sebagaimana mereka membaca Al-Qur’an.

Selain keempat hal yang telah disebutkan, semuanya thabi’i (berasal dari kebiasaan percakapan orang-orang Arab yang hidup pada masa nubuwwah). Wallaahu a’lam.

Tilawah, Adaa dan Qira’ah

Kemudian pada bait selanjutnya Imam Ibnul Jazariy rahimahullah juga menyebutkan alasan lain mengapa membaca Al-Qur’an wajib dengan tajwid;

 وَهُـوَ أَيْـضًـا حِـلْيَـةُ الـتِّـلاَوَةِ *** وَزِيْــنَـــةُ الأَدَاءِ وَالْــقِـــرَاءَةِ

“Dan tajwid juga merupakan perhiasannya tilawah, serta hiasannya adaa dan qiraah.”

Di antara alasan lain mengapa Al-Imam Ibnul Jazariy berpendapat bahwasanya mentajwidkan Al-Quran merupakan kewajiban adalah sebagaimana yang diungkapkan dalam syairnya. Ia adalah sebaik-baik perhiasan saat membaca Al-Quran. Dalam bait diatas ada beberapa istilah yang secara umum bermakna sama, namun secara khusus memiliki makna tersendiri.

  1. Tilawah: artinya mengikuti atau mutaba’ah. Maknanya adalah membaca Al-Quran secara rutin seperti tadarrus/ wirid harian/ muraja’ah. Istilah tilawah hanya berlaku bagi Al-Quran dan ini adalah kekhususan baginya.
  2. Adaa: artinya membacakan Al-Quran di hadapan seorang Muqri, ber-talaqqi kepadanya, dan mengambil riwayat darinya.
  3. Qira’ah: maknanya membaca, lebih umum daripada tilawah dan adaa. Tilawah dan adaa termasuk ke dalam qiraah. Tapi tidak setiap qiraah bermakna tilawah dan adaa. Qiraah juga digunakan pada selain Al-Quran, seperti qiraatul hadits (membaca hadits) atau qiraatul kitaab (membaca buku).

Artinya, mempraktikan tajwid saat membaca Al-Quran berlaku di manapun dan kapanpun. Baik pada saat tilawah, adaa, maupun qiraah biasa.

Definisi Tajwid

Pada bait selanjutnya Imam Ibnul Jazariy rahimahullah menyebutkan definisi tajwid dengan sangat detail;

 وَهْـوَ إِعْـطَـاءُ الْـحُـرُوفِ حَقَّـهَـا *** مِــنْ صِـفَـةٍ لَـهَـا وَمُستَحَـقَّـهَـا

 وَرَدُّ كُـــلِّ وَاحِـــدٍ لأَصْـلِــهِ 

“Dan Tajwid adalah memberikan kepada huruf hak-haknya, dari sifat-sifatnya dan mustahaknya,
Dan mengembalikan setiap huruf kepada asalnya (makhrajnya),”


Pada bait-bait ini Al-Imam Ibnul Jazariy mendefinisikan tajwid dengan begitu rinci. Beliau mendefinisikan tajwid dengan “memberikan hak dan mustahak huruf, serta mengembalikan huruf kepada makhrajnya.” Hak huruf adalah sifat-sifat lazim yang dimiliki oleh huruf, yaitu sifat asli yang senantiasa menyertai huruf seperti hams, jahr, syiddah, rakhawah, qalqalah, dan sebagainya. Sedangkan mustahak huruf adalah sifat yang sewaktu-waktu menyertai huruf tertentu seperti: sifat tafkhim (suara tebal), tarqiq (suara tipis), dan hukum-hukum yang terjadi akibat hubungan antar huruf

Konsistensi Dalam Bacaan

Pada bait selanjutnya Imam Ibnul Jazariy rahimahullah menjelaskan salah satu upaya yang bisa dilakukan untuk mencapai kesempurnaan dalam tajwid;

وَاللَّـفْـظُ فِــي نَـظِـيْـرِهِ كَمِـثْـلـهِ

“Dan lafazh yang sama mesti diucapkan dengan konsisten sebagaimana awalnya.”

Maksudnya adalah pada lafazh-lafazh yang sama hukumnya, maka mesti diperlakukan serupa, tidak membeda-bedakan satu sama lainnya (dalam sekali baca). Misalnya kita membaca mad wajib dengan 5 (lima) harakat pada satu ayat, maka bila bertemu dengan mad wajib di ayat yang lain, kita harus membacanya 5 (lima) harakat, dengan hitungan yang sama. Begitu pun pada hukum-hukum yang lain. Dalam istilah ilmiah, pemerataan dan konsistensi dalam mengaplikasikan hukum-hukum yang berlaku dikenal dengan Tawhiidul Manhaj.

Salahsatu kesalahan yang sering terjadi pada para pembaca Al-Quran, khususnya para imam dalam shalat berjamaah adalah tidak konsisten dalam membaca mad ‘aridh lissukuun. Yakni mad yang diakibatkan adanya huruf terakhir yang dibaca sukun di akhir kalimat atau akhir bacaan. Sebagaimana kita ketahui, bahwa panjang mad ‘aridh lissukuun adalah boleh memilih antara 2, 4, atau 6 harakat. Namun, bukan berarti kita bebas memilih dalam sekali baca. Cara yang benar adalah memilih satu wajah saja dalam sekali duduk saat membaca Al-Quran, atau dalam satu rakaat shalat. Sehingga bila kita membaca basmalah dengan mad ‘aridh 2 harakat, maka kita tidak boleh memanjangkannya menjadi 4 atau 6 harakat pada ayat terakhir Al-Fatihah, atau pada akhir bacaan sebelum ruku’.

Membebani Diri Secara Berlebihan Saat Membaca Al-Quran

Pada bait selanjutnya Imam Ibnul Jazariy rahimahullah menyebutkan definisi tajwid dengan sangat detail;

 مُكَمَّـلاً مِـنْ غَـيْـرِ مَــا تَكَـلُّـفِ *** بِاللُّطْـفِ فِـي النُّطْـقِ بِــلاَ تَعَـسُّـفِ

“Membacanya dengan sempurna tanpa berlebih-lebihan, dengan pengucapan yang lembut tanpa serampangan,”

Apa yang telah beliau jelaskan dari mulai memberikan huruf hak dan mustahaknya, mengembalikan setiap huruf kepada makhrajnya, dan konsisten dalam setiap bacaan, ditujukan untuk menyempurnakan bacaan agar sesuai, atau minimal mendekati sebagaimana bacaan Al-Quran pada saat pertama kali diturunkan. Bukan untuk menjadikannya sebagai beban dan membuat kita membacanya berlebihan. Bahkan dalam pengucapannya, kita mesti melatih lisan agar bisa mengalirkan suara dan lafazh-lafazh Al-Quran dengan lembut, ringan, dan mengalir. Tanpa harus dibuat-buat sehingga terkesan kaku, keras, dan menghentak-hentak.

Baca JugaAdab-Adab Membaca Al-Qur’an

Syaikh Ayman Rusydi Suwaid hafizhahullah menjelaskan bahwa takalluf (beban) itu terbagi menjadi dua:

  1. Takalluf yang disyariatkan (mathlub), yaitu berusaha sekuat tenaga untuk mengucapkan lafazh demi lafazh hingga tercapai bahasa yang paling fasih.
  2. Takalluf yang tercela (madzmum), yaitu berlebih-lebihan dalam mengucapkan lafazh demi lafazh hingga setiap ucapan terkesan dibuat-buat, kaku, dan tidak enak didengar.

Sesungguhnya, sebagaimana perkataan Al-Imam Abu Muzahim dalam Qashidah Khaqaniyah bahwa setiap huruf memiliki mizan (timbangan/ bobot) yang mesti ditunaikan sesuai dengan bobotnya.

Bila, misalnya, satu huruf memiliki bobot 1 kg, maka kita wajib menunaikannya 1 kg, tidak menguranginya juga tidak berlebihan atasnya. Mentajwidkan Al-Quran artinya membaca Al-Quran sesuai dengan kaidah yang berlaku. Bila mad asli panjangnya dua harakat, maka jangan jadikan ia tiga, empat, apalagi enam harakat.

Sebagian orang yang baru belajar tajwid kadang berlebihan dalam usahanya memperoleh kesempurnaan bacaan sehingga ia memberikan bobot yang lebih dari apa yang semestinya. Kadangkala ia malah mengurangi apa yang semestinya diberikan. Ketahuilah bahwasanya mentajwidkan Al-Quran bukan berarti berlebihan dalam mad, juga bukan berarti:

  • memanjangkan yang bukan mad,
  • menambah Hamzah setelah mad,
  • mengucapkan huruf seperti orang mabuk,
  • mengucapkan Hamzah seperti orang muntah,
  • menambah suara lain dari hidung,
  • mengurangi suaranya, seperti pada ghunnah

Latihan dan Praktik Adalah Kunci Keberhasilan

Pada bait terakhir dari bab Tajwid ini Imam Ibnul Jazariy rahimahullah the key of success dalam membaca Al-Qur’an dengan tajwid yg bagus;

 مُكَمَّـلاً مِـنْ غَـيْـرِ مَــا تَكَـلُّـفِ *** بِاللُّطْـفِ فِـي النُّطْـقِ بِــلاَ تَعَـسُّـفِ

“Dan tidak ada yang membedakan antara orang yang mengamalkan tajwid dengan orang yang meninggalkannya,
Kecuali latihan terus menerus secara konsisten dengan lisannya.”

Artinya, seseorang yang mempelajari tajwid tidak akan mendapatkan apa-apa. Ia tidak akan berbeda dengan orang yang tidak mempelajari tajwid kecuali bila ia rajin melatih ilmu yang dipelajarinya dengan konsisten dan diiringi dengan kesabaran.

Tentu saja, latihan untuk mendapatkan hasil yang sempurna tidak akan semudah membalikkan telapak tangan, khususnya bagi mereka yang berasal dari luar Arab. Sejak di dalam kandungan hingga sanggup mengenal dunia mereka tidak mengenal bahasa dan dialek kecuali apa yang biasa ia dengar dan ia ucapkan. Lalu, tiba-tiba ia harus belajar mengucapkan sesuatu yang tidak biasa ia ucapkan dengan dialek yang tidak biasa ia praktikkan. Namun, tidak mudah bukan berarti tidak mungkin. Tinggal bagaimana usaha setiap orang untuk selalu meningkatkan kemampuannya dan tidak pernah berputus asa.

Demikian sedikit coretan kami tentang Tajwid Menurut Ibnul Jazari semoga membawa manfaat untuk para pembaca sekalian.

Sumber:
Tajwidul Qur’an Metode Jazary Jilid. 1 karya sahabat kami Abu Ezra Laili Al-Fadhli dengan sedikit tambahan dan perubahan.

Share:
admin

admin

Admin PortalViral merupakan user khusus untuk administrator pusat situs PortalViral.co. Semua artikel yang dibuat oleh Admin PorVil telah melalui proses panjang.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.