Melanjutkan tulisan sebelumnya yaitu tentang tingkatan dalam membaca Al-Quran, pada tulisan kali ini kita akan membahas tentang rukun qiro’ah Al-Quran.

Perlu diketahui bahwa Al-Quran merupakan mukjizat abadi hingga hari kiamat. Dan Allah telah menjamin kemurniannya, ia tak pernah berubah dan tak mengenal distorsi meskipun zaman selalu berubah-ubah.

Al-Quran yang ada ditangan kita sekarang adalah Al-Quran yang diturunkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam melalui perantara malaikat Jibril alayhis salam. Kita dapat memastikan hal tersebut karena Al-Quran diambil dengan riwayat.

Oleh karena itu, para ulama menjelaskan kepada kita tentang syarat-syarat diterimanya sebuah qiro’ah yang diriwayatkan tersebut. Jika salah satu rukun dari syaratnya tidak terpenuhi maka qiro’ah tersebut dapat dihukumi syadz (menyimpang). Hal ini tentunya tidak lain merupakan upaya untuk menjaga kemurnian kalamullah.

Berikut adalah penjelasan rukun-rukun Qir0’ah Al-Quran yang dijelaskan oleh para ulama:

1. Sesuai Dengan Salah Satu Kaidah Bahasa Arab Meskipun Lemah

Salah satu Rukun Qiro’ah Al-Quran yang dijelaskan oleh para ulama adalah bacaan harus sesuai dengan salah satu kaidah bahasa Arab. Meskipun kaidah tersebut dianggap lemah oleh para ulama. Misalnya qiro’ah Ibnu ‘Amir pada surat Al-An’am ayat 137:

وَكَذٰلِكَ زَيَّنَ لِكَثِيْرٍ مِّنَ الْمُشْرِكِيْنَ قَتْلَ اَوْلَادِهِمْ شُرَكَاۤؤُهُمْ لِيُرْدُوْهُمْ وَلِيَلْبِسُوْا عَلَيْهِمْ دِيْنَهُمْۗ وَلَوْ شَاۤءَ اللّٰهُ مَا فَعَلُوْهُ فَذَرْهُمْ وَمَا يَفْتَرُوْنَ

“Dan demikianlah berhala-berhala mereka (setan) menjadikan terasa indah bagi banyak orang-orang musyrik membunuh anak-anak mereka, untuk membinasakan mereka dan mengacaukan agama mereka sendiri. Dan kalau Allah menghendaki, niscaya mereka tidak akan mengerjakannya. Biarkanlah mereka bersama apa (kebohongan) yang mereka ada-adakan”

Qs. Al-An’am ayat 137

Ibnu Amir membaca lafazh “zayyana” pada ayat diatas dengan “zuyyina“, yaitu dengan mendhammahkan huruf zay dan mengkasrahkan huruf ya, dalam ilmu sharaf lafazh ini dinamakan dengan bina majhul, kemudian beliau juga membaca lafazh “qotlu” dengan “qotla“, tentunya ini terjadi dikarenakan adanya lafazh dengan bina majhul pada kalimat sebelumnya sehingga lafazh qotl berposisi sebagai na-ibul fa’il, lalu beliau juga membaca lafazh “awlaadihim” dengan “awlaadahum” karena posisinya sebagai maf’ul bih dari lafazh sebelumnya, dan yang terakhir lafazh “syurakaa-uhum” pada ayat diatas beliau membacanya dengan “syurakaa-ihim” dengan alasan mudhaf ilayh dari lafazh “qotlu“.

Para ulama menyebutkan bahwa qiro’at Ibnu Amir ini adalah syadz, karena antara lafazh yang berposisi sebagai mudhaf yaitu “qotlu” dengan mudhaf ilayh-nya yaitu “syurakaa-ihim”. Terdapat frasa penjeda yaitu awlaadahum.

Dan kasus idhafah yang terjeda seperti ini hanya dapat diaplikasikan khusus zharf (kata keterangan). Atau pada sya’ir orang-orang Arab saja dan tidak dapat di aplikasikan pada selain itu apalagi kalamullah. Inilah yang menyebabkan para ulama mengatakan bahwa qiro’ah Ibnu Amir pada ayat ini adalah syadz (menyimpang). Namun demikian qiro’ah ini tetap dikatakan sah dan diterima oleh para ulama walaupun ulama nahwu mengingkarinya.

2. Sesuai Dengan Rasm Utsmani Meskipun Secara Ihtimal

Rukun Qiro’ah Al-Quran yang selanjutnya adalah teks Al-Quran harus sesuai dengan Rasm Utsmani walaupun masih ihtimal. Maksud dari ihtimal adalah qiroah tersebut secara implisit terkandung dalam rasm (tulisan) mushaf.

Contohnya adalah qiro’ah pada lafazh ملك يوم الدين “maaliki yaumiddiin” (dengan memanjangkan huruf mim). Padahal jika kita perhatikan mushaf-mushaf Utsmani pada kata ملك tidak ditulis dengan Alif yang berarti mestinya dibaca pendek.

Namun disana terdapat ihtimal atau kemungkinan lain bahwa huruf mim dibaca panjang karena adanya huruf alif yang dibaca namun tidak ditulis dengan alasan ikthshar, sehingga tulisannya menjadi seperti ini: (مٰلِكِ يَوْمِ الدِّيْنِۗ).

3. Sanadnya Shahih Secara Mutawatir

Rukun Qiro’ah Al-Quran yang ketiga adalah bacaan tersebut diriwayatkan secara mutawatir. Jika suatu bacaan (qiro’ah) telah tsabit secara mutawatir, maka qiro’ah tersebut merupakan qiro’ah yang sah dan dapat dijadikan hujjah (sandaran syar’i). Maka dapat disimpulkan jika suatu qiraah telah tsabit datangnya dari seorang imam secara mutawatir, maka qiraah tersebut adalah sah dan tidak dapat ditolak dengan alasan apapun meskipun dengan alasan qiyas dalam bahasa Arab.

Imam Asy-Syathibi rahimahullah berkata: “Tidak ada celah masuk bagi qiyas dalam qiro’ah.” (Diraasatu ‘Ilmit Tajwid lil Mutaqaddimiin, hal. 21)

Demikian pembahasan Rukun Qiro’ah Al-Quran, semoga dapat menambah wawasan kita semua terhadap kalamullah. Kita memohon kepada Allah ta’ala agar memudahkan kita semua untuk mempelajari kalamNya yang mulia dan semoga kita semua mendapatkan syafa’at dari Al-Quran pada hari kiamat kelak. Amiin

Share:
Dimas Shandy

Dimas Shandy

I love various things related to web development, blogging and SEO. Founder of the website PORTALVIRAL.CO and developer of several websites in the fields of education, technology, and others. I am also an undergraduate student (S1) majoring in informatics engineering (TI) who enjoys writing and sharing my knowledge.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.